Saya mengajukan lamaran (khitbah) terhadap seorang gadis
melalui keluarganya, lalu mereka menerima dan menyetujui lamaran saya.
Karena itu, saya mengadakan pesta dengan mengundang kerabat dan
teman-teman. Kami umumkan lamaran itu, kami bacakan al-Fatihah, dan kami
mainkan musik. Pertanyaan saya: apakah persetujuan dan pengumuman ini
dapat dipandang sebagai perkawinan menurut syari’at yang berarti
memperbolehkan saya berduaan dengan wanita tunangan saya itu. Perlu
diketahui bahwa dalam kondisi sekarang ini saya belum memungkinkan untuk
melaksanakan akad nikah secara resmi dan terdaftar pada kantor urusan
nikah (KUA).
JAWABAN
Oleh : Dr. Yusuf Qardhawi
Oleh : Dr. Yusuf Qardhawi
Khitbah (meminang, melamar, bertunangan) menurut bahasa, adat, dan
syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukadimah (pendahuluan)
bagi perkawinan dan pengantar ke sana. Seluruh kitab kamus membedakan
antara kata-kata “khitbah” (melamar) dan “zawaj” (kawin); adat kebiasaan
juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan
yang sudah kawin; dan syari’at membedakan secara jelas antara kedua
istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekadar
mengumumkan keinginan untuk kawin dengan wanita tertentu, sedangkan
zawaj (perkawinan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat
yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat
tertentu.
Al Qur’an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu ketika
membicarakan wanita yang kematian suami: “Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam
‘iddah) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji
kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada
mereka) perkataan yang ma’ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu
ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.”
(Al Baqarah: 235).
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak
lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah
bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada
si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk
meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak boleh salah
seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih).
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita
yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan
mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah)
dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga)
kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara’, dan
rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul.
Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu yang sudah
dikenal dalam adat dan syara’. Selama akad nikah – dengan ijab dan
kabul – ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan
belum terjadi, baik menurut adat, syara’, maupun undang-undang. Wanita
tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang
tidak halal bagi mereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa
disertai salah seorang mahramnya seperti ayahnya atau saudara
laki-lakinya.
Menurut ketetapan syara, yang sudah dikenal bahwa lelaki yang telah
mengawini seorang wanita lantas meninggalkan (menceraikan) isterinya itu
sebelum ia mencampurinya, maka ia berkewaiiban memberi mahar kepada
isterinya separo harga. Allah berfirman: “Jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu mencampuri mereka, padahal sesungguhnya
kamu telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang
telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau
dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah …” (Al Baqarah: 237)
Adapun jika peminang meninggalkan (menceraikan) wanita pinangannya
setelah dipinangnya, baik selang waktunya itu panjang maupun pendek,
maka ia tidak punya kewajiban apa-apa kecuali hukuman moral dan adat
yang berupa celaan dan cacian. Kalau demikian keadaannya, mana mungkin
si peminang akan diperbolehkan berbuat terhadap wanita pinangannya
sebagaimana yang diperbolehkan bagi orang yang telah melakukan akad
nikah. Karena itu, nasihat saya kepada saudara penanya, hendaklah segera
melaksanakan akad nikah dengan wanita tunangannya itu. Jika itu sudah
dilakukan, maka semua yang ditanyakan tadi diperbolehkanlah. Dan jika
kondisi belum memungkinkan, maka sudah selayaknya ia menjaga hatinya
dengan berpegang teguh pada agama dan ketegarannya sebagai laki-laki,
mengekang nafsunya dan mengendalikannya dengan takwa. Sungguh tidak baik
memulai sesuatu dengan melampaui batas yang halal dan melakukan yang
haram.
Saya nasihatkan pula kepada para bapak dan para wali agar mewaspadai
anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan mereka yang sudah
bertunangan. Sebab, zaman itu selalu berubah dan, begitu pula hati
manusia. Sikap gegabah pada awal suatu perkara dapat menimbulkan akibat
yang pahit dan getir. Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah
merupakan tindakan lebih tepat dan lebih utama. “… Barangsiapa melanggar
hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al Baqarah:
229) “Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut
kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang
yang mendapat kemenangan.” (An Nur: 52).
http://musicofmyheart.blogdrive.com/archive/35.html