Senin, 15 November 2010

my plend _ smillers _



















HATI IBU

Aku melangkah tergesa. Tak sabar agar segera sampai di rumah. Dalam benakku tergambar senyum mengambang di bibir Ayah. Membayangkan senyum Ayah kedua kaki jenjangku semakin gesit berloncatan.
“Aku menang lomba menulis cerpen, yah,” ucapku begitu menginjak teras sambil memamerkan piala di tanganku.
Ayah menurunkan koran yang sedang dibacanya lalu menatapku sebentar, setelah itu membaca lagi.
Melihat wajah datar Ayah senyum di bibirku surut. Bergegas aku masuk rumah, menemui ibu.
“Ibu,” panggilku.
Tidak ada jawaban.
“Ibu,” ulangku.
Masih bisu. Kucari ke kamar, tak ada, di dapur aku juga tak menemukan ibu.
Kutinggalkan dapur lalu masuk kamar. Kutaruh piala kuning keemasan itu di atas meja belajarku. Kurebahkan tubuh di kasur sambil memejamkan mata. Tapi baru beberapa menit aku rebahan sepasang telingaku mendengar suara ibu dari luar.
“Dira mau hadiah apa?”
“Dira minta dibelikan sepeda motor,” suara Dira, kakakku.
“Keinginanmu nanti ibu sampaikan pada ayah,” sahut ibu.
“Dengan atau tanpa persetujuan ayah Dira harus punya motor,” Dira ngotot.
Pelan-pelan kuseret langkah ke luar kamar. “Ibu, dari mana?” tanyaku.
“Dari MP. Dira juara satu lomba fashion di Mall Pekanbaru,” kata ibu dengan mata berbinar.
Aku tersenyum sambil menyalami Dira.
“Itu apa?” tanya ibu melihat piala di tanganku.
“Farah juara dua lomba menulis cerpen antar fakultas,” kataku.
Ibu diam.
“Boleh di pajang di lemari depan, Bu?”
Ibu menggeleng, “Disimpan di kamar saja. Lemari depan khusus tempat piala-piala milik Dira,” tegas ibu.
Ada perih di ujung hatiku.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu aku membawa satu tas besar pakaian untuk menginap di kost Ummu, teman serujusanku. Jarak kost Ummu hanya beberapa meter dari kampus.
“Sudah bilang sama ibu mau nginap di sini?” tanya Ummu.
Aku menggeleng, “Ibu tidak akan kehilangan meskipun aku mati.”
“Jangan bicara seperti itu.”
“Ibu baru ribut kalau Dira yang hilang.”
“Jangan terus kau pupuk cemburumu.”
“Aku tak akan cemburu andai mereka tak pilih kasih.”
“Mungkin seperti itu cara mereka menyayangi kalian.”
“Entah,” kataku malas.
Aku membalikkan tubuh memunggungi Ummu. Diam-diam kuseka mataku yang basah.
***
Seperti dugaanku ibu tak peduli meski aku tak pulang berhari-hari. Ayah pun tak risau meski anak gadisnya tak memberi kabar.
“Ummu, aku minta izin untuk tinggal di sini satu minggu lagi,” kataku setelah beberapa hari berselang.
“Aku boleh saja. Tapi kau kasih kabar dulu ke ortu,” sahut Ummu.
“Tak perlu, Mu.”
Melihat kerasku Ummu tak bersuara. Aku bertekad akan pulang jika ibu menjemput dan memintaku pulang dengan penuh kelembutan. Seperti yang ibu lakukan beberapa tahun yang lalu terhadap Dira, saat gadis itu ikut kemah bersama organisasi pramukanya di tengah hutan. Saat berhari-hari Dira tak pulang ibu luar biasa panik. Kemudian ibu meminta ayah menyusul Dira. Ketika tiba di rumah Dira disambut bagai ratu, syukuran besar-besaran lagi-lagi digelar karena tak terjadi apa-apa terhadap gadis tinggi semampai itu.
Saat ingatanku menerobos ke masa lalu tiba-tiba handphoneku bergetar, nomor rumah. Aku berharap itu ibu.
“Ibu masuk rumah sakit, Non,” terdengar suara Bik Warsih, pembantu di rumah kami.
“Kapan? Kenapa?” tanyaku bertubi-tubi.
“Sejak dua hari yang lalu…”
“Kenapa saya baru dihubungi sekarang?” potongku.
“Nomor non Farah tidak bisa dihubungi dari kemarin.”
Aku menelan ludah pahit. Menyesal mematikan handpone selama dua hari ini. Begitu sambungan ditutup aku bergegas ke rumah sakit.
Saat tiba di ruangan icu kulihat tubuh ibu dibalut selang infuse. Aku menangis melihat kondisi ibu.
“Ibu sakit apa?” tanyaku pada ayah yang memegangi lengan ibu.
“Dua hari yang lalu kaki ibu terpeleset saat mau ke luar kamar mandi.”
“Lalu…” kejarku tak sabar.
Ayah diam sambil menyeka matanya yang basah. Aku menunggu.
“Kepala ibu pecah, darah menyembur, dokter bilang ibu harus dioperasi. Tetapi sejak dioperasi ibu belum sadar sampai sekarang.”
Aku merinding mendengarnya.
***
Ini sudah memasuki pekan kedua, tapi kondisi ibu tidak ada memperlihatkan perkembangan berarti.
Kugenggam jemari ibu erat-erat. Pelan tangan itu bergerak. Aku tersentak. Kulihat bibir ibu juga bergerak. Seperti mengeluarkan suara meski tak jelas. Kudekatkan telingaku ke bibir ibu.
“Farah,” ucap ibu.
Aku tak yakin pada pendengaranku.
Hening. Aku semakin mendekatkan telingaku, menunggu perempuan itu memanggilku. Tapi mulut itu tak lagi bersuara. Namun rasa gembira tetap menyergapku.
“Dimana Dira dan ayahmu?” ibu bertanya tiba-tiba.
“Mereka di luar, biar…” gegas aku beranjak dari pembaringan ibu.
“Jangan!” cegah ibu.
Aku berbalik.
“Saat ini ibu ingin berdua saja denganmu.”
Aku menoleh. Menduga-duga. Kulihat wanita itu menarik nafas.
“Ibu tahu kau cemburu pada Dira. Ibu tak pernah merayakan apapun saat kau meraih sesuatu.”
Sunyi sesaat.
“Ketahuilah, Nak. Biaya syukuran itu mahal, itulah sebabnya ibu hanya membuatnya untuk Dira,” kata ibu dengan mata bertelaga.
Aku diam saja.
“Jika perhatian ibu lebih besar pada Dira karena menurut ibu Dira tak sekuat kau.”
“Ibu menyayangiku?” tanyaku dengan suara bergetar.
Ibu tak segera menjawab. Pelan wanita itu bangkit seraya memelukku, “Tak ada orang tua yang tak sayang anaknya,” ucap ibu diantara isaknya.
Meski semula enggan, pelan-pelan aku membalas pelukan ibu. Beberapa saat tak ada suara. Kurasakan ibu semakin mempererat pelukannya. Lama. Namun saat aku melerai pelukan, kudapati ibu tak lagi bergerak. Tubuhnya sedingin es.
***
Hari ini 28 Desember. Hari jadi ibu. Gundukan tanah di depanku masih merah. Kuelus nisan ibu. Mengingat saat-saat terakhir bersama ibu setumpuk cemburuku pada Dira lenyap. Pelan kutengadahkan wajah menatap langit, dalam diam aku berdoa agar langit menjaga ibu dari atas, “Selamat ulang tahu, Bu,” bisikku.
* Desi Sommalia Gustina
Mahasiswi UIR, Pekanbaru.

Putri langit

Ada bulan di atas atap rumah ketika Putri Langit datang menemui Supria yang sedang tertidur di samping istrinya.
"Untung kamu datang, Putri," sambut Supria di dalam mimpinya. "Sudah lama aku menunggumu. Ke mana saja kamu, Putri? Aku gelisah sejak sore tadi," lanjut Supria dengan hati girang.
"Aku menemui orang-orang yang dirundung galau sepertimu. Mereka semua meminta aku berkunjung," sahut Putri Langit sesaat setelah turun dari langit dengan mengendarai selendang kabut.
"Bukankah kamu pernah berikrar untuk lebih memperhatikan aku ketimbang yang lain?" tuntut Supria lembut. "Bukankah begitu, Putri?"
"Benar. Perhatianku pada kamu melebihi yang lainnya. Tapi, bukankah seharusnya kamu mencurahkan perhatianmu pada kepentingan keluargamu - anak dan istri, juga orang-orang yang dekat denganmu?"
"Justru karena itulah, Putri, aku jadi tersiksa serasa neraka. Aku merasa dipasung oleh mereka. Aku seperti kuda, dipecut untuk terus berjalan. Bahkan berlari mengejar sesuatu yang tak pasti."
Putri Langit terdiam. Supria merasa tak enak hati pertemuan mereka direcoki kisah miris yang diungkapkannya sebagai bagian dari curahan hati.
"Maafkan aku, Putri. Aku sangat serakah ingin menguasai kebaikan hatimu."
"Jangan berkata seperti itu," ujar Putri Langit. "Semua makhluk sepertimu itu serakah. Tap,i tidak seharusnya kamu pun ikut-ikutan seperti mereka."
"Benar, Putri. Tapi, batinku tak akan pernah dapat tenang. Persoalan demi persoalan bemunculan, menumpuk segebung tanpa terakhiri," beber Supria.
"Sudahlah," suara Putri Langit melunak. "Aku kasihan padamu. Kemarilah, Lelakiku. Pegang tanganku. Ayo, ikut pergi bersamaku."
Lalu, Putri Langit membawa Supria terbang ke atas langit menerobos gemawan.
Di atas langit, tepatnya di Kerajaan Serba Ada, Supria diturunkan.
"Kita sudah sampai, Lelakiku," ujar Putri Langit. "Jangan sungkan untuk meminta."
Supria yang telah berada di ruang berdinding cahaya terlihat gugup. Tak disangkalinya kalau gemerlap langit membuatnya terkesima. Sungguh, kehidupannya di dunia fana merupakan aparadais. Tak ada keajaiban sesontak di sini, pikirnya. Sebuah dimensi yang bertolak belakang. Di Kerajaan Serba Ada ini semua serba mudah. Ketika Supria kehausan, tiba-tiba saja bermacam jenis minuman segar tersedia di hadapannya.
"Bagaimana?" tanya Putri Langit.
"Sungguh menakjubkan!" cetus Supria terkagum-kagum.
"Di dunia, kamu telah kehilangan suasana surga?"
Supria tersipu malu. Disingkirkannya gelas minuman dari hadapannya, lalu menatap Putri Langit dalam-dalam. "Aku ingin bercinta," desisnya.
Kali ini Putri Langit yang tersipu malu.
"Kenapa? Apa kamu menolak bercinta denganku?" kejar Supria.
"Tidak," sahut Putri Langit. "Justru aku membawamu ke sini untuk melupakan semua yang membebani pikiranmu."
Alangkah bahagianya Supria saat mendengar Putri Langit berkata seperti itu. Lalu, Supria menerima uluran tangan Putri Langit. Mereka lantas berpelukan. Di angkasa mereka seperti kapas yang bergelung dan berguling-guling. Tempo-tempo mereka menjelma bintang, berkelap-kelip di angkasa raya. Pada saat yang lain, mereka seperti dua cahaya meteor yang bertubrukan. Tubuh mereka memercikkan beribu cahaya. Begitu indah.
"Aku bahagia sekali, Putri."
"Aku senang kamu bisa bahagia."
"Aku ingin memilikimu selamanya."
Putri Langit mengendurkan pelukannya. "Serakah kemanusiaanmu muncul lagi. Mestinya kamu tak perlu mempunyai sifat seperti itu lagi."
"Di bumi aku tersiksa sekali. Aku seperti kuda, dipecut untuk selalu terus berjalan. Aku tak mau turun lagi, Putri. Aku ingin selalu bersamamu," alasan Supria.
"Jangan begitu, Lelakiku," sanggah Putri Langit. "Aku akan datang dan membawamu ke mana kamu suka, asal kamu tidak mementingkan dirimu sendiri."
"Apa benar begitu?" tanya Supria penasaran.
Putri Langit tak menyahut. Sebaliknya, ia membawa Supria turun ke bumi untuk melihat apa yang dikerjakan oleh orang-orang dekatnya. Siang atau malam, orang-orang yang berada di bumi tak melihat keberadaan Putri Langit atau Supria yang telah menjelma menjadi angin.
"Kamu kenal dengan orang itu, Lelakiku?" tanya Putri Langit sambil menunjuk ke salah seorang perempuan di belakang gerobak rokok. Supria menyimak takzim. "Hah, itu Winarti? Istriku! Sedang apa dia?" tanyanya heran.
"Lihat saja dulu, ke mana dia setelah ini," kata Putri Langit, menyoal keberadaan istri Supria di pinggir jalan. Dan, perempuan yang dikenal sebagai istrinya itu kini berjalan menuju halte bus. Sebuah bus kota muncul. Perempuan itu naik ke dalam bus kota bersama beberapa calon penumpang. Di dalam bus perempuan itu mengeluarkan alat musik serupa ketimpring dari dalam tasnya. Lalu perempuan itu menyanyi.
"Astaga, istriku mengamen?!"
"Nah, ternyata orang yang kamu anggap telah menyiksa dirimu, justru sebaliknya. Dia lebih tabah ketimbang dirimu," tukas Putri Langit.
Mata Supria tak berkedip. "Winarti! Winarti!" teriak Supria dari atas angkasa.
"Istrimu tidak akan mendengar atau melihatmu. Sebab kita sedang dalam wujud angin. Mau lihat yang lainnya?" tawar Putri Langit kemudian.
Supria mengangguk. Bahkan ia penasaran dengan benak baur ingin melihat semua kejadian pada saat dirinya berada di tempat lain.
"Ayo, Putri! Bawa aku ke tempat orang-orang yang aku kenal, dimana aku tak berada di dekat mereka saat ini."
"Dengan senang hati, Lelakiku," sambut Putri Langit seraya menuntun tangan Supria. Selanjutnya, mereka berkesiur ke pohon-pohon berdaun gimbal di tepi jalan - dimana biasanya orang-orang berteduh menyejukkan diri.
"Kamu lihat anak itu? Coba perhatikan siapa dia?" tanya Putri Langit sambil menunjuk ke salah seorang anak laki-laki yang sedang menyedot minyak tanah dari mobil tangki dengan menggunakan selang yang dimasukkan ke jirigen. Bocah kecil itu melakukannya di saat mobil tangki minyak itu terjebak lampu merah.
"Ya, Tuhan! Itu anakku! Itu anakku! Oh, sekecil itu dia sudah berada di jalan raya! Bagaimana ini, Putri?" keluh Supria semaput.
"Itulah. Ternyata anakmu pun tak mau tinggal diam terhadap kerasnya kehidupan ini. Meski di mata kita perbuatannya itu salah, tapi seperti yang aku bilang tadi, mereka juga sedang dirundung kesulitan. Mereka juga merupakan orang-orang susah. Bukan hanya kamu yang merasakan hal tersebut. Lihatlah, mereka - istri dan anakmu - ikut berandil dalam menata ke kehidupan yang lebih baik dan layak. Sikapilah dengan benar, Lelakiku. Bersyukurlah, anak dan istrimu sedang membangun prinsip-prinsip di dalam hidup ini."
Supria tercenung. Sebagai angin dia memilih bersemayam di dahan pohon. Bersembunyi dari hiruk-pikuk persoalan. Dia ingin berteriak tapi entah seperti apa desaunya. Tentu anak dan istrinya tak akan tahu kalau yang berkesiur di sekeliling mereka itu adalah sang suami, sang ayah yang telah berburuk sangka terhadap diri mereka.
"Mau lihat yang lainnya lagi?" tantang Putri Langit sambil menarik tangan Supria dari rerimbun pohon yang tumbuh di tepi jalan raya itu.
Supria menurut. Dia tak bisa menolak. Putri sudah berbuat baik, pikirnya. Maka dengan senang hati Supria mengikuti terus ke mana Putri Langit pergi walau harus meninggalkan raganya di tempat lain.
"Apakah kamu ingin melihat orang-orang yang kamu anggap telah berjasa di tempat tinggalmu, Supria?" tanya Putri Langit kemudian.
Supria manut mengakuri.
"Kamu tahu siapa dia?" tanya Putri Langit, menelusup sebagai angin melalui ventilasi sebuah hotel yang mereka datangi.
"Ya, aku kenal. Dia adalah seorang lurah di desaku. Tapi kenapa dia bersama perempuan yang bukan istrinya?" Supria berkata.
"Jangan bingung, Lelakiku," kata Putri Langit.
Lalu Putri Langit membawa Supria yang tengah bingung ke sebuah hotel lainnya. "Kamu kenal dengan perempuan yang ada di dalam kamar hotel itu?" tanya Putri Langit untuk yang kesekian kali.
"Oh, itu! Bukankah itu istri temanku? Mengapa dia berdua dengan lelaki yang bukan suaminya di dalam hotel? Ah, dunia apa ini, Putri?"
Tanpa menyahuti, Putri Langit menyeret separo paksa kekasih batinnya itu pergi melihat sesuatu yang belum dimafhuminya sama sekali. Tiap sebentar, mereka melewati daerah-daerah asing yang belum pernah dikunjungi Supria. Kedua makhluk yang menjelma angin itu berkesiur ke tenda-tenda cafe, melayang ke gedung-gedung tinggi, lantas berhenti sebentar di sudut-sudut ruang. Hampir semua pemandangan yang dilihat Supria sangat bertentangan dengan hati nurani.
"Dan yang ini," kata Putri Langit sambil menunjuk ke sebuah rumah yang terpisah dari perkampungan penduduk. "Kamu mungkin tak kenal dengan perempuan tua itu, tapi tentu mengenal baik perempuan muda yang sedang terbaring tersebut," lanjut Putri Langit setelah mereka masuk ke rumah separo gubuk tersebut melalui lubang angin di atas jendela.
Supria terkejut bukan main. Dia serasa tak percaya. "Astaga! Bukankah itu Punasokawati, anak tetanggaku? Oh, mengapa dia dalam keadaan setengah telanjang dengan kedua kaki direntangkan?"
"Dia mau aborsi!" sela Putri Langit.
"Apa itu aborsi?"
"Mengeluarkan jabang bayi dari rahimnya."
"Lho, bukankah Punasokawati itu belum bersuami?"
"Itulah! Karena salah pergaulan, dia hamil di luar nikah. Sekarang, dia bingung dan malu. Memutuskan menggugurkan bayi yang dikandungnya setelah tidak ada yang bertanggung jawab. Mungkin saat ini dia sendiri bahkan tidak tahu siapa ayah si Janin. Pacarnya bejibun. Cinta hanya dijadikannya sebagai bentuk permainan. Mengenaskan!"
Supria mundur. Dia mau muntah. Kepalanya berdenyut. Perutnya mual.
"Kenapa, Lelakiku?! Kamu kenapa?!"
Supria galau.
"Apa mau lihat yang lebih gila lagi?" tawar Putri Langit kemudian.
"Ti-tidak, tidak! Sudah Putri, jangan kamu teruskan lagi membawaku ke dalam kehidupan gila ini. Jangan lagi, Putri! Aku mohon, jangan lagi, Putri!"
Mendengar ocehan Supria yang gaduh tanpa sadar, Winarti, istri Supria yang galak dan cerewet itu terjaga dari tidurnya.
Siapa Putri?! pikirnya. Kurang ajar! kutuknya kemudian.
Hati sang Istri tiba-tiba terbakar api cemburu di pagi buta. Tanpa basa-basi lagi, sang Istri mengambil air dari dalam gentong lalu menyiramkan ke wajah suaminya.
"Dasar bajingan! Siapa Putri, heh! Siaaapaaa?!" teriak Winarti sambil menjambak rambut Supria dengan kasar sehingga suaminya itu terlempar dari atas tempat tidurnya.
Supria yang masih gugup dan bingung itu hanya melongong di lantai kamarnya, tak dapat menjelaskan duduk persoalannya. ©



BIODATA PENULIS
Gita Nuari, penulis muda kelahiran Jakarta, 12 Januari 1984 ini merupakan salah satu di antara segelintir pengarang yang kerap menelurkan karya bertema 'sastra'. Cerpen-cerpennya sudah tersebar di berbagai media nasional termasuk situs-situs fiksi di internet. Cerpen berjudul 'Putri Langit' pernah diterbitkan oleh suarakarya.com sebagai salah satu cerita terbaik. Berduet bersama Effendy Wongso, ia menghasilkan sebuah novel remaja yang berjudul 'The Moffatts Diaries: There's Sometihing About Denise' yang dimuat di cafenovel.com. Sebagai penulis yang dinamis dan berwawasan luas, ia memang punya potensi untuk menjadi penulis handal di masa-masa yang akan datang.